Sudah Puluhan Nyawa Melayang Pemilik Lobang Maut AP Terancam UU Minerba

PortaBMR BOLMONG – Tanoyan, Kecamatan Lolayan, Kabupaten Bolaang Mongondow, kembali menjadi saksi bisu dari tragedi yang tak kunjung henti. Sudah puluhan nyawa telah hilang di lokasi tambang emas tanpa izin (PETI), namun penegakan hukum terhadap para pemilik tambang seakan tak pernah ada titik terang. Kejadian tragis yang menimpa para penambang ini jelas menunjukkan betapa lemahnya penegakan hukum dan perhatian aparat terhadap masalah ini, meski aktivitas tambang ilegal di wilayah tersebut sudah berlangsung lama dan terus mengancam keselamatan jiwa manusia.

Pada 24 Desember 2018, tragedi kembali terjadi di lokasi Lingkobungon, Desa Tanoyan Selatan, ketika lima penambang tewas di dalam lubang tambang ilegal saat mengambil material. Setahun kemudian, pada 5 Oktober 2019, dua penambang lainnya, Sugiono dan Obe, meregang nyawa setelah terpapar gas beracun yang terdapat di dalam lubang tambang yang sudah dua hari tidak dikerjakan. Kejadian-kejadian ini sudah seharusnya memicu reaksi cepat dari aparat penegak hukum untuk menindak tegas para pemilik tambang yang jelas-jelas melanggar hukum dan membiarkan pekerja berada dalam kondisi yang sangat berbahaya.

Namun, kenyataan menunjukkan sebaliknya. Pemilik tambang yang diketahui bernama Sarif Alimudin, warga Desa Tanoyan Utara, hingga kini tak tersentuh hukum, meskipun perbuatannya jelas melanggar Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Hingga kini, ia tidak juga dihadapkan ke pengadilan. Belum lama berselang, pada 2021, konflik antar warga yang merebutkan wilayah tambang emas ilegal juga memakan korban jiwa, Amrin Boyod, yang tewas akibat bentrokan antara warga Desa Tanoyan dan Desa Tungoi. Kejadian ini menambah panjang daftar korban yang jatuh di lokasi tambang ilegal Tanoyan.

Di tahun yang sama, kembali terjadi kecelakaan di lokasi PETI di Desa Tanoyan Selatan, yang menewaskan JL alias Jul (45), seorang warga Desa Mopait. Dan tidak berhenti di situ, pada 2023, sepuluh penambang kembali tertimbun tanah longsor di lokasi tambang ilegal tersebut. Meski beruntung mereka berhasil selamat, kejadian ini kembali membuka mata publik tentang bahaya yang mengancam para pekerja tambang ilegal Tanoyan.

Puncaknya, pada 16 Januari 2025, seorang pemuda berusia 16 tahun, ES, tewas di lokasi PETI milik Dudy, warga Desa Matali Baru. Tragisnya, meski pemilik tambang tersebut sedang diperiksa, pihak Polres Kotamobagu memilih untuk tidak menahannya dengan alasan bahwa Dudy kooperatif. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar, mengapa pemilik tambang yang jelas-jelas melanggar hukum dan menyebabkan kematian, tidak diproses hukum secara tegas? Kenapa hukum seakan diperlakukan berbeda untuk pemilik tambang yang mengabaikan keselamatan pekerja?

Firdaus Mokodompit, Ketua DPD Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI), secara tegas mempertanyakan ketidakadilan ini. “Kenapa pekerja kecil yang hanya mencari nafkah dengan mengambil material tambang bisa langsung diproses hukum, bahkan ditahan, sementara pemilik tambang yang menyebabkan kematian justru tidak ditahan hanya karena alasan kooperatif?” ujar Mokodompit. Pernyataan ini mencerminkan rasa frustrasi masyarakat yang melihat adanya ketimpangan penegakan hukum di Tanoyan, di mana para pelaku PETI ilegal yang mengakibatkan korban jiwa justru tidak mendapatkan konsekuensi hukum yang layak.

Pemerintah setempat juga gagal memberikan solusi jangka panjang terhadap masalah ini. Upaya untuk melegalkan PETI melalui pengusulan wilayah pertambangan rakyat ke Provinsi Sulawesi Utara justru memperburuk keadaan, karena kebijakan ini memberikan ruang lebih bagi para pelaku ilegal untuk terus melanjutkan aktivitas berbahaya mereka tanpa ada sanksi yang berarti.

Pertanyaan besar pun muncul, mengapa penegak hukum, khususnya Polres Kotamobagu, begitu lamban menangani kasus-kasus PETI di Tanoyan? Apakah ada hubungan dekat antara pemilik tambang dengan pihak berwajib sehingga proses hukum berjalan lambat dan terkesan selektif? Publik semakin kritis dan berhak mengetahui alasan di balik kelambanan penegakan hukum terhadap para pelaku PETI.

Kasus ini menunjukkan adanya ketimpangan yang mencoreng citra Polres Kotamobagu dan menurunkan kepercayaan publik terhadap kemampuan polisi dalam menegakkan hukum yang adil. Jika penegakan hukum terus dibiarkan bias dan tidak tegas, masyarakat akan semakin mempertanyakan komitmen kepolisian dalam memberantas kejahatan, khususnya yang berkaitan dengan keselamatan jiwa manusia.

Pihak berwenang harus segera bertindak tegas. Aktivitas PETI yang sudah jelas ilegal dan membahayakan nyawa pekerja harus segera dihentikan, dan para pelaku yang terlibat harus dijerat sesuai dengan hukum yang berlaku. Keamanan dan kesejahteraan pekerja tambang harus menjadi prioritas, bukan hanya demi kepentingan bisnis segelintir orang. Penegakan hukum yang adil dan transparan harus hadir untuk melindungi warga dan memastikan bahwa tragedi seperti ini tidak akan terulang lagi. Jangan sampai keadilan hanya menjadi barang langka di tanah Tanoyan.

Jumat, 7 Maret 2025 sejumlah Aktivitas dan LSM mendorong Aparat hukum polres kotamobagu benar-benar menerapkan UU Minerba serta sanksi pidana bagi oknum pelaku PETI.

“Sudah banyak kasus kematian di lokasi PETI tapi tidak ada satupun yang menjadi tersangka dalam penanganan hukum, kasus yang baru terjadi di desa Tanoyan yang mengakibatkan Kematian pekerja di lokasi modopola pemilik lobang AP alias Andri harus di proses hukum,” ucap Resmol Maikel.

“Aktivitas PETI oleh AP alias Andri sudah berlangsung lama, sya menduga ini ada pembiaran/backup dari oknum anggota polisi yang merupakan kaka saudara dari AP, sehingga saya meminta propam Polda Sulut agar memeriksa Kaka AP yang merupakan anggota polisi,” ucap Resmol

Check Also

Sakit Sakit Jabatan Ketua PWI Sulut , Lucky: Voucke Lontaan Ketua PWI Sulut Yang Sah

PortalBMR BOLMONG,-Buntut klaim Vanny Lopatty bahwa dirinya ditunjuk sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulawesi …